21 Januari, 2009

Dayak di Kalimantan Barat: Telaah Religi Budayanya


Di Kalimantan Barat, terjadi keunikan tersendiri berkaitan dengan proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu budaya bagi masyarakat setempat. Proses tersebut berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak dan Melayu. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat. Mereka hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing. Kemudian datanglah pedagang dari Gujarat yang memeluk agama Islam dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak. Karena interaksi perdagangan yang menguntungkan ini, dan letak geografis sesuai bagi perjalanan dagang dari dan ke Selat Malaka (yang merupakan sentral dagang di masa lalu), mereka berkeinginan menetap di daerah tersebut.

Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan, pendidikan, dan agama Islam. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Lambat laun, karena hubungan yang baik, pada tahun 1550 berdirilah Kerajaan Melayu Islam yang dikenal dengan Kerajaan Tanjung Pura. Kerajaan ini perlahan-lahan menyebar di Kalimantan Barat.

Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya. Mereka percaya bahwa pada setiap tempat tertentu ada penguasanya. Itulah yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Yang Maha Kuasa. Mereka yang masih berpegang teguh kepada kepercayaan nenek moyang dan budaya aslinyanya kemudian memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.

Di lain sisi, masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena keinginan sendiri, perkawinan, dan banyak latar belakang lain, lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju. Mereka kemudian tidak mau lagi mengaku diri sebagai orang Dayak, dan karena perbedaan adat kebiasaan, mereka juga akhirnya melepaskan diri dari keterikatan dengan adat istiadatnya. Orang Dayak yang memeluk agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu menyebut diri dengan senganan, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu.

Orang Melayu memiliki strata kepemimpinan. Untuk mengatur daerah mereka, maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil). Penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.

Lama setelah itu, masuklah misionaris katolik dari Belanda. Selain memperkenalkan ajaran iman Katolik, para misionaris juga memberikan pendidikan modern kepada masyarakan Dayak. Tahun 1906 berdirilah sekolah misi di Nyarumkop. Karena pendidikan yang ditawarkan serta adat tradisi katolik yang lebih fleksibel (inkulturasi) dengan budaya Dayak, banyak orang Dayak akhirnya memeluk agama Katolik. Inilah kemudian menjadi pembeda jelas antara Melayu dan Dayak: Melayu identik dengan Islam, sedangkan Dayak identik dengan Kristen dan kepercayaan nenek moyang.

Dayak: Pengertian dan Sebarannya

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur (ibu kota: Samarinda), Kalimantan Selatan (ibu kota: Banjarmasin), Kalimantan Tengah (ibu kota: Palangka Raya, dan Kalimantan Barat (ibu kota: Pontianak).

Antropolog J. U. Lontaan, dalam bukunya yang berjudul HUKUM ADAT DAN ADAT ISTIADAT KALIMANTAN BARAT, yang diterbitkan pada tahun 1975, kelompok Suku Dayak terdiri dari 6 suku dan terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih berjumlah 405 sub suku. Merujuk kepada sosiologi kemasyarakat dan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas, masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan ternyata mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip satu sama lain.

Pada awalnya, mereka hidup di pinggir-pinggir sungai besar. Ketika penguasa Melayu tiba dengan kekuasaan kesultanannya, orang Dayak menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.

Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri. Akan tetapi, ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya.

"Dayak" atau "Daya" sendiri adalah sebutan eksonim (sebutan yang bukan diberikan oleh masyarakat itu sendiri), bukan pula sebutan endonim (sebutan yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata itu sebutan dari ahli antropologi asing yang melihat kenyataan bahwa masyarakat tersebut tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan. Hingga kini, walaupun sebagian besar masyarakat Dayak telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi, mereka tetap disebut Dayak.