Di Kalimantan Barat, terjadi keunikan tersendiri berkaitan dengan proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu budaya bagi masyarakat setempat. Proses tersebut berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak dan Melayu. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat. Mereka hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing. Kemudian datanglah pedagang dari Gujarat yang memeluk agama Islam dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak. Karena interaksi perdagangan yang menguntungkan ini, dan letak geografis sesuai bagi perjalanan dagang dari dan ke Selat Malaka (yang merupakan sentral dagang di masa lalu), mereka berkeinginan menetap di daerah tersebut.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan, pendidikan, dan agama Islam. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Lambat laun, karena hubungan yang baik, pada tahun 1550 berdirilah Kerajaan Melayu Islam yang dikenal dengan Kerajaan Tanjung Pura. Kerajaan ini perlahan-lahan menyebar di Kalimantan Barat.
Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya. Mereka percaya bahwa pada setiap tempat tertentu ada penguasanya. Itulah yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Yang Maha Kuasa. Mereka yang masih berpegang teguh kepada kepercayaan nenek moyang dan budaya aslinyanya kemudian memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
Di lain sisi, masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena keinginan sendiri, perkawinan, dan banyak latar belakang lain, lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju. Mereka kemudian tidak mau lagi mengaku diri sebagai orang Dayak, dan karena perbedaan adat kebiasaan, mereka juga akhirnya melepaskan diri dari keterikatan dengan adat istiadatnya. Orang Dayak yang memeluk agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu menyebut diri dengan senganan, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu.
Orang Melayu memiliki strata kepemimpinan. Untuk mengatur daerah mereka, maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil). Penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.